Pantelhine, D‑bls‑ (pant
thenyl-β‑aminoethyl) disulfide addimer dan Pantethine yang
merupakan derivat asam pantotenat dan cysteamine, dan membentuk sebagian dani
struktur Coenzyme A. Pantethine telah lama dikenal mempunyai sifat
hipolilidemik..
Pantethine dalam tubuh akan diubah menjadi pantethine dengan terminal grup –SH
dimana pantethine merupakan intermediat dalam sintesis CoA darl vitamin asam
pantotenat. Oleh karena itu wajarlah jika pemberian pantethine akan
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lipida dan asam amino.
Meningkatkan produksi telur dan berat badan
Thompson et al. (1954) menemukan bahwa
pemberian pantethine ke dalam ransum ayam menghasilkan pertambahan berat badan
yang lebih baik daripada yang diberi cakium pantotbenate, dan peningkatan berat
badan akan lebih tinggi lagi pada level pemberian yang lebih tinggi. Mori et
al. (1986) menemukan bahwa pembenian 200 ppm pantetbine kepada broiler yang
dipelihara pada suhu 25oC temyata tidak memberikan pengaruh terhadap PBB dan
FCR. Akan tetapi jika broiler dipelihara pada suhu 31oC pemberian pantethine
akan meningkatkan efisiensi pakan dan berat daging. Pada ayam petelur, Hsu et
al. (1987) yang dipelihara pada suhu 25oC pemberian pantetbine tidak memberikan
pengaruh terhadap produksi telur. Akan tetapi penurunan produksi telur karena
suhu yang tinggi (31oC) dapat dihambat oleh pantethine, sementara berat telumya
cendetung meningkat (Hsu et al., 1988). Hasil menunjukkan bahwa pantetbine
dapat digunakan untuk memaksimalkan potensi genetik ayam dengan cara
meningkatkan keseimbangan hormon ketika ayam dipelihara pada suhu tinggi
(Tanaka, 1992)
Menurunkan sintesis asam lemak pada ayam
Sisi utama dari sintesis asam lemak
pada ayam adalah hati dan fungsi lain yang berkaitan dengan metabolisme,
seperti esterifikasi asam lemak, penylmpanan lipid, sintesis lipoprotein dan
keluamya lipid ke aliran darah semuanya ada di hati. Oleh karena itu,
abnormalitas metabolisme lipid pada ayam secara umum terjadi pada hati seperti
misalnya fatty liver. Salah satu tipe fatty
liver pada ayam adalah fatty liver hemorrhagic syndrome (FLHS). Kelainan
ini terutama terjadi pada ayam petelur serta menimbulkan mortalitas yang cukup
tinggi karena terjadinya pembengkakan hati, akumulasi lemak yang berlebihan
serta luka pada hati. FLHS ini dapat menurunkan produksi telur secara drastis.
Sebab utama FLHS ini diduga karena naiknya konsentrasi estrogen darah, dimana
sekresi estrogen yang berlebihan pada ayam petelur akan merangsang sintesis
asam lemak di hati (Tanaka et al., 1986; Haghighi‑Rad & Polin,
1981). Hsu et al. (1987) menemukan bahwa ketika ayam petelur diberi pakan yang
mengandung jagung sebagai sumber karbohidrat, konsentrasi estradiol dalam
plasma lebih tinggi dengan sintesis asam lemak dan kadar lipid di hati yang lebih tinggi daripada yang
diberi pakan mengandung barley. Ketika 200 ppm pantethine ditambahkan, tidak
ada perubahan pada ayam yang diberi barley. Namun konsentrasi estradiol dalam
plasma dan sintesis asam. lemak dan kadar lipid hati menurun pada ayam petelur
yang diberi jagung.
Hasil ini menunjukkan bahwa ketika
ayam dipelihara pada kondisi yang mengakibatkan tingginya konsentrasi estradiol
dan lipid hati, pantelhine tampaknya mampu menurunkan ke tingkat yang normal.
Ketika ayam petelur dipelihara pada suhu tinggi (31oC) penambahan pantethine menghasilkan
konsentrasi thyroxine plasma yang lebih tinggi (Hsu et al., 1987) Fatty liver
pada ayam sering terjadi pada musim panas yang disebabkan oleh hypothyroidism
sebagai akibat tingginya suhu kritis. Oleh karena itu pantetbine dapat
menghambat hypothyroidism dan mampu menurunkan akumulasi lipid di hati, maka
tampaknya pembenian pantethine ke dalam ransum ayam dapat mencegah fatty liver terutama pada musim panas atau
pada suhu lingkungan tinggi seperti di
daerah tropis.
Menurunkan sintesis kolesterol pada ayam
Konsumsi makanan yang mengandung kadar kolesterol dan asam lemak jenuh
dalam waktu lama dapat menimbulkan hypercholesterolemia atau hyperlipidemia.
Disinyalir hal ini dapat meningkatkan risiko terkena penyakit penyempitan
pembuluh darah arteri, seperti aorta dan arteri jantung, yang menvebabkan
ischemic heart disease (angina pectoris myocardinal infraction). Oleh karena
itu usaha untuk menurunkan kadar lemak pada produk ternak akhir‑akhir ini
menjadi populer. Hsu et al. (1988) menemukan bahwa pemberian 200 ppm pantethine
pada ayam petelur menurunkan aktivis enzim yang berkaitan dengan sintesis asam
lemak dan aktivitas 3‑hydroxy‑3methylglutaryl‑CoA
reductase, suatu. enzim yang sangat berperan pada sintesis kolesterol. Selain itu juga
menurunkan total kolesterol dalam hati dan plasma serta menurunkan kadar kolesterol
telur. Tanaka et al. (1989) menemukan bahwa pemberian pantetbine juga
menurunkan LDL‑c pada plasma dan kolesterol hati serta kolesterol ester, kolesterol
bebas dan fosfolipid dalam serum pada ayam bertumbuh (growing chicks).
Selanjutnya dinyatakan bahwa pemberian pantethine pada ransum yang ditambahkan
kolesterol juga menurunkan kadar lemak hati dan serum serta LDL‑c dalam serum.
Pengaruhnya pada ruminansia
Kegemukan, fatty necrosis dan
fafty fiver pada sapi semakin sening terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pergerakan dan konsumsi energi yang berlebihan yang berasal dari konsentrat.
Pada saat terjadi fatty liver, gluconeogenesis di hati terganggu yang
menimbulkan ketosis. Tanaka et al. (1992) memberikan etbionine pada sapi untuk
menimbulkan fatty liver. Pemberian ethionine menurunkan secara drastis
aktivitas fructose‑1, 6‑biphospatase
dan phosphoenolpyruvate
carboxykinase dan hepatic gluconeogenic enzyme. Penurunan gluconeogenic pathway
ini akan kembali normal jika pantethine diberikan melalui jugular vein satu
kali selama 4 hari pada kambing lokal Jepang.
Pengaruhnya terhadap sistem metabolisme obat
Yoshikawa et al. (1982) menemukan
bahwa pantethine menurunkan luka yang disebabkan oleh carbon tetrachloride pada
tikus. Juga dilaporkan bahwa pantethine
memperbaiki dermatopathy yang dikembangkan oleh lipid peroxide in vivo (Kimura et al., 1982; Hayakawa dan Ueda 1972)
dan menurunkan cardiotoxicity, yang diakibatkan oleh pemberian adriamycin (Boo
et al., 1982). Kenyataan ini menunjukkin bahwa metabolit pantetine mungkin
berperan sebagai salah satu “scavenger” terhadap lipid peroxidation in vivo
yang terutama terjadi pada biomembrane.
Karena enzim dari sistem metabolisme obat juga terdapat pada biomembrane
terutama dalam transfer elektron dari mikrosom hati, tampaknya sistem ini
dipengaruhi oleh lipid peroxide yang dihasilkan in vivo oleh metabolisme
xenobiotic yang dimasukkan dan “scavenger” endogen terhadap lipid
peroxide. Jika, ditinjau dari sudut
nutrisi, ada beberapa laporan (Saito et al., 1982; Saito et al., 1983a, b; Kato
et al., 1980; Kato et al., 1981; Kobayashi dan Yoshida, 1981) tentang pengaruh
xenobiotic (terutama polychlorinated biphenyl dan scavenger” terhadap perubahan
sistem metabolisme obat dan pembentukan lipid peroxide in vivo. Penelitian
tentang pengaruh autooxidized fatty acid termasuk peroxide terhadap aktivitas
metabolisme obat dalam mikrosoma tikus sangat sedikit. Mengingat lipid perbxide
terjadi dalam makanan dan diakumulasikan (Kanazawa et al., 1985; Oarada et aL,
1986) terutama di hati setelah dikonsumsi maka sangat penting untuk mengetahui
pengaruh autooxidized fatty acid terhadap sistem metabolisme obat. Pemberian
autoxidized linoleate (AL) pada dosis rendah meningkatkan kadar cytochrome P‑450 dan
aktivitas sistem metabohsme obat, sementara pada dosis tinggi akan
menurunkannya (Hiramatsu et al., 1987), walaupun kadar dan aktivitasnya menurun dengan
perpanjangan waktu pemberian bahkan pada dosis rendah sekalipun (Hiramatsu et
al., 1988). Pemberian pantethine membebaskan pengaruh AL terhadap sistem
metabolisme obat di hati tikus (Hiramatsu et al., 1989). Peneliti ini menemukan
bahwa aktivitas metabolisme obat, yang dalam hal ini non‑AL dan AL
dosis rendah, menunjukkan bahwa aktivitasnya lebih tinggi pada grup yang
kekurangan pantethine daripada yang cukup dan berlebih. Dapat disimpulkan bahwa
pada grup yang rendah pantethine, sistem metabolisme obat dirangsang untuk mendekomposisi lipid peroxide
sebagal hasil dari sistem redoks in vivo. Tampaknya, pantethine mencegah
induksi sistem metabofisme obat karena pantelhine mempunyai sifat antioksidan
yang menurunkan peroxidation lipid in vivo. Hiramatsu et al (1991) melaporkan
bahwa pemberian pantethine yang cukup menurunkan lipid peroxidation in vivo dan
menjaga metabolisme lipid yang normal walaupun pada kondisi pemasukan AL yang
tinggi.
Hirako (1994) menemukan bah
pemberian pantethine ke dalam ransum menurunkan kadar lemak abdomen pada ayam
bertumbuh yang diimplantasikan dengan estradiol (3,7 µg/hari, namun kadar
tersebut masih jauh dari yang tanpa estradiol. Pemberian pantelhine pada ayam
yang diimplantasi estradiol ini juga mampu menaikkan berat badan, sedang pada
ayam tanpa estradiol pantethine tidak berpengaruh terhadap berat badan maupun
lemak abdomen. Selanjutnya dinyatakan bahwa pemberian pantelhine pada ayam
tersebut menaikkan aktivitas aminopyrine N‑demethylase, kadar cytochrome P‑450 dan
kadar cytochrome b5. Namun pantethine
tampaknya tidak mampu menurunkan komposisi lemak hati dan darah yang dirangsang
oleh estradiol. Dari uraian tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa pemberian pantethine ke dalam ransum ternak dapat
meningkatkan produktivitas dan kualitas produk ternak. (Pernah dimuat dalam
Poultry Indonesia Juli 1999).
Sumber : Santosoburgo@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar