Pendahuluan
Mineral merupakan zat makanan yang jumlahnya
relatif sedikit dalam tubuh,
namun demikian zat tersebut merupakan
mikronutrien penting dalam kehidupan
manusia. Tidak seperti unsur karbon,
hidrogen, oksigen dan nitrogen yang jumlahnya
mencapai 95 % berat badan, jumlah seluruh
mineral dalam tubuh hanya sebesar 4 %.
Mineral-mineral dalam tubuh manusia yang
biasa ditemukan berjumlah sekurangkurangnya
20 macam. Kemungkinan sejumlah 60 macam
mineral telah diidentifikasi
dari organisme hidup.
Mineral biasanya dibagi dalam dua golongan,
golongan pertama ialah mineralmineral
yang jumlahnya dalam tubuh lebih besar dari
0,01 % berat badan, atau dengan
perkataan lain dalam makanan dibutuhkan
sebanyak 100 Mg atau lebih per hari.
Mineral-mineral ini disebut mineral makro.
Mineral-mineral yang termasuk golongan ini
adalah : Kalsium (Ca), Phospor (P), Magnesium
(Mg), Sulfur (S), Kalium (K), Natrium
(Cl) dan Chlorida (Cl). Mineral-mineral yang
terdapat dalam tubuh dengan jumlah lebih
kecil dari 0,01 % berat badan disebut mineral
mikro. Mineral-mineral tersebut antara
lain Besi (Fe), Yodium (I), Flourida (F),
Seng (Zn), Selenium (Se), Tembaga (Cu),
Chromium (Cr), Mangan (Mn), Molibdenum (Mo),
Kobalt (Co), Arsenik (As), Nikel
(Ni), dan Vanadium (Vn).
Mineral Besi dan Seng merupakan
mineral-mineral mikro yang banyak ditemukan
dalam tubuh dengan jumlah masing-masing 2 - 4
gram. Mineral-mineral mikro lainnya
ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit,
yaitu sekitar seperseribu (0,001) kali lebih
sedikit dari kedua mineral tersebut di atas.
Fungsi Mineral
Beberapa mineral mempunyai fungsi untuk
proses pertumbuhan , reproduksi dan
untuk memelihara kesehatan. Jumlah mineral
yang diperlukan oleh tubuh untuk
pertahanan dan pemeliharaan tubuh, tidak
selamanya harus proporsional dengan jumlah
mineral tersebut dalam tubuh. Misalnya tubuh
manusia mengandung lebih banyak
Alumunium, yang ternyata tidak esensial untuk
tubuh, dibandingkan dengan mineralmineral
Chromium, Mangan dan mineral-mineral mikro
lainnya. Selanjutnya defisiensi
mineral-mineral mikro dapat menimbulkan
kelainan yang sama parahnya dengan
defisiensi mineral-mineral makro (Piliang,
1997).
Seperti halnya zat makanan lain yang
esensial, kelebihan mineral dari yang
dibutuhkan dapat membahayakan tubuh. Misalnya
mineral Seng dan Besi sangat esensial
untuk kehidupan, namun bila dikonsumsi
terlalu banyak akan menimbulkan keracunan.
Pembagian kepentingan mineral bagi tubuh
ternak terkait dengan mekanisme pengaturan
kondisi tubuh terhadap lingkungan, aktivitas
hormon, enzim dan sistem angkutan lain
(Annenkov, 1982).
Tillman et al. (1991) menyatakan secara umum
mineral-mineral mempunyai
fungsi yaitu sebagai bahan pembentuk tulang
dan gigi (menguatkan dan mengeraskan
jaringan), mempertahankan koloidal dari
berbagai senyawa dalam tubuh, memelihara
keseimbangan asam dan basa dalam tubuh,
sebagai aktivator sistem enzim tertentu,
sebagai komponen suatu enzim dan mempunyai
sifat yang spesifik terhadap kepekaan
otot dan syaraf. Parrakasi (1985) menyatakan
kebutuhan mineral dari ternak
dipengaruhi beberapa faktor yaitu jenis dan
tingkat produksi, tingkat dan bentuk ikatan
kimia dari elemen, bangsa ternak, proses
adaptasi, tingkat konsumsi, umur dan hubungan
dengan zat makanan lain.
Mineral Seng (Zn)
Sejarah Mineral Seng
(Zn)
Pada tahun 1897, Raulin seorang peneliti yang
pertama kali membuktikan bahwa
mineral seng esensial untuk pertumbuhan
normal jamur Aspergillus niger. Kegunaan
mineral ini pada tanaman-tanaman tingkat
tinggi dilaporkan pada tahun 1926. Todd,
Elvehjem dan Hart pada tahun 1934 membuktikan
kegunaan mineral Seng pada tikus.
Defisiensi mineral ini merupakan suatu
masalah yang sering terjadi pada industri ternak
babi pada tahun 1950-an, bersamaan dengan
ditemukan sintesa vitamin B12 secara in
vitro yang pada saat itu dikenal sebagai Animal Protein Factor, terutama dengan
timbulnya keinginan untuk beternak babi
secara terkurung.
Tucker dan Salmon tahun (1955) membuktikan
bahwa mineral Seng dapat
mencegah serta menyembuhkan penyakit parakeratosis pada ternak babi. Defisiensi
mineral ini telah dibuktikan dapat terjadi
pada beberapa spesies ternak. Tanda-tanda
klinis akibat defisiensi mineral Seng pada
manusia pertama kali dilaporkan pada tahun
1961 terhadap pria-pria muda dari suatu kota
kecil di sebelah Utara Iran. Ternyata
orang-orang ini hampir tidak pernah
mengkonsumsi roti-roti yang dibuat tanpa ragi dan
mengkonsumsi protein asal hewani yang sangat
sedikit. Orang-orang tersebut juga
pernah mengalami geophagia.
Pada akhir tahun 50-an, dibuktikan bahwa
mineral Seng kurang tersedia pada
protein yang berasal dari tanaman
dibandingkan dengan jumlah mineral Seng dalam
protein asal hewani. Pada tahun 1960, O’Dell
dan Savage membuktikan bahwa asam
fitat merupakan komponen utama dalam tanaman
yang mempengaruhi ketersediaan
mineral Seng.
Sifat dan Sumber
Mineral Seng (Zn) di Alam
Seng merupakan logam putih kebiru-biruan
dengan nomor atom 30, berat atom
65,38, titik cair 419,5 0 C dan titik didih 907 0 C termasuk unsur golongan IIB pada tabel
periodik. Seng terdapat secara luas di alam
terutama dalam bentuk Sphalerite dan
marmamite yang merupakan bijih Seng Suifida (Zn Fe)S.
Hampir 90 % logam Seng
yang digunakan saat ini berasal dari
senyawa-senyawa tersebut (Abdel-Mageed dan
Oehme, 1990).
Seng dan beberapa senyawa Seng diproduksi
dalam produksi logam campuran
seperti perunggu, loyang dan kuningan. Bangsa
Mediterania menggunakan salep yang
mengandung Seng sebagai obat penyakit kulit.
Seng mempunyai aktivitas elektrokimia
sehingga digunakan dalam galvanisasi (penyepuhan) besi dan baja untuk melindungi
dari kerusakan struktural. Seng oksida secara
umum digunakan dalam produksi karet,
cat, gelas dan bahan keramik.
Seng juga merupakan salah satu zat pencemar
lingkungan. Cemaran Seng
biasanya berasal dari limbah pabrik semen.
Hal ini terlihat dari hasil penelitian Darmono
(1994), yang menyatakan bahwa rumput yang
tumbuh di sekitar kawasan pabrik semen
mengandung kadar Seng yang tinggi
dibandingkan dengan rumput yang tumbuh jauh dari
kawasan pabrik tersebut.
Biokimia Seng (Zn)
Seng merupakan mineral esensial bagi tanaman
tingkat tinggi, hewan dan
manusia. Seng terlibat dalam beberapa
aktivitas enzim dan merupakan reseptor bagi
beberapa protein (Burns, 1980), sehingga
defisiensi Seng dalam tubuh dapat
menimbulkan gangguan kesehatan.
Menurut Abdel-Mageed dan Oehme (1990), Seng
ditemukan bergabung dengan
lebih 70 metaloenzim yang berperan dalam
metabolisme penting. Sedangkan Bagavan
(1992) menyatakan bahwa Seng berikatan dengan
lebih dari 100 metaloenzim yang sudah
diketahui. Selain itu Seng juga dibutuhkan
untuk mempertahankan struktur apoenzim.
Seng juga ditemukan bergabung dengan insulin
yang penting dalam sistesis RNA
(Prassad dkk., 1976 dalam Burns, 1980). Selain itu Seng di dalam
testis terlibat dalam
pematangan spertozoa (Burns, 1980).
Mekanisme Absorpsi Mineral Seng (Zn)
Mineral Seng diabsorpsi dengan bantuan proses difusi dalam
duodenum dan
jejenum bagian atas. Zat-zat yang membantu absorpsi mineral antara
lain asam-asam
amino terutama histidin dan sistein, asam sitrat, asam pikolonik
pada tikus dan air susu
manusia, tetapi tidak pada air susu sapi. Zat-zat lain yang
mempengaruhi absorpsi
mineral Seng adalah monosakarida dan komponen-komponen EDTA. Dalam
jumlah
besar, mineral Seng disekresikan dalam cairan saliva dan cairan
pankreas. Konsentrasi
mineral Seng dalam duodenum dapat mencapai tiga kali jumlah
konsumsi mineral ini
dalam ransum. Sebagian besar mineral Seng yang disekresi harus
diabsorpsi kembali,
namun demikian perlu diingat bahwa mineral Seng dalam ransum akan
menjadi rusak
dan tidak tersedia karena terikat dengan fitat. Sebagian kecil
mineral Seng juga dapat
ditemukan dalam empedu.
Absorpsi Seng dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada tikus, Seng
yang
diabsorpsi sekitar 5 - 10 %, pada ayam 20 - 30 %, dan pada manusia
kurang lebih 50,8 %
(Abdel-Mageed dan Oehme, 1990). Hewan muda mengabsorpsi Seng lebih
efisien
dibanding hewan dewasa (Burns, 1980).
Menurut Fahy (1987), Seng yang masuk ke dalam tubuh mula-mula
diserap oleh
hati dengan konsentrasi tinggi. Kemudian Seng terikat dalam darah
merah dan
terakumulasi dalam tulang, otot, ginjal dan pankreas. Ruminansia
mengabsorpsi Seng
melalui rumen, abomasum dan usus kecil (Burns, 1980).
Seng yang diabsorpsi berikatan dengan albumin dan 30 - 40 %
dibebaskan ke
dalam sirkulasi darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh
jaringan lain. Sekitar 60
- 80 % Seng intraseluler terdapat dalam praksi sitosol, 10 % dalam
bagian inti, dan hanya
sebagian kecil yang ditemukan dalam mitokondria dan ribosom.
Sebagian besar Seng
dalam sitosol berikatan dengan protein, dan Seng yang berlebih
berikatan dengan
metalotionein di bawah kondisi normal.
Mekanisme Ekskresi Mineral Seng (Zn)
Saluran pencernaan makanan merupakan jalur normal untuk ekskresi
mineral
Seng. Mekanisme pengaturan ekskresi mineral Seng tidak sepenuhnya
dimengerti,
namun dalam batas-batas fisiologis, kelebihan dari mineral Seng
diekskresi dari tubuh
melalui saluran pencernaan. Kandungan mineral ini dalam urine
biasanya konstan.
Konsentrasi mineral Seng dalam urine manusia cukup konstan dengan
kisaran antara 600
- 800 mikrogram/hari. Dalam kondisi defisien Seng, konsentrasi
mineral ini dalam urine
akan menurun. Hal ini merupakan suatu indikasi akan adanya
penyimpangan mineral
Seng dalam ginjal.
Pada hewan normal 65 - 85 % Seng yang masuk ke dalam tubuh
diekskresikan
melalui feses dan ± 1 %
dekskresikan melaui urine. Sedangkan ekskresi Seng pada
hewan yang menderita defisiensi Seng hanya 9 - 25 % (Burns, 1980).
Sebaran Mineral Seng (Zn)
Piliang (1997) menyatakan bahwa mineral tersebar dimana-mana di
seluruh
tubuh. Tidak terdapat tempat penyimpanan khusus untuk mineral Seng
dalam tubuh,
meskipun sumsum tulang dan ginjal merupakan tempat-tempat yang
terbanyak
mengandung mineral Seng labil. Tempat-tempat ini juga merupakan
tempat-tempat yang
pertama-tama akan mengalami defresi mineral Seng dalam kondisi
defisiensi Seng.
Georgievskii et al (1982) menyatakan bahwa konsentrasi Seng dalam
organ tidak
konstan, namun bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan
level mineral pakan
yang dikonsumsi ternak. Selanjutnya dinyatakan bahwa organ yang
sangat responsif
terhadap level mineral dalam pakan adalah darah, hati, tulang,
pankreas, dan gonad.
Rata-rata konsentrasi Seng dalam darah ternak antara 0,25 - 0,60
mg/100ml, sedangkan
dalam plasma antara 0,1 - 0,2 mg/100 ml. Dalam plasma Seng
ditemukan dalam dua
bentuk yaitu yang berikatan dengan globulin dan dengan albumin
dengan proporsi 1 : 2
dan masing-masing terlibat dalam fungsi enzim dan sebagai agen
transportasi.
Kelenjar prostat ternyata mengandung mineral Seng dengan
konsentrasi tertinggi
meskipun pada kenyataannya tidak terdapat keseimbangan dengan
konsentrasi mineral
Seng dalam darah dan juga tidak disebarkan pada jaringan-jaringan
lain pada saat
diperlukan. Kelenjar prostat merupakan tempat sintesis dan
penyimpanan cairan
seminalis yang kaya akan mineral Seng. Secara umum, jaringan organ
mengandung
mineral Seng dengan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan mineral
dalam jaringan otot. Hal ini membuktikan aktivitas metabolik dalam
jaringan-jaringan
lain dalam tubuh (Piliang, 1997).
Menururt Underwood (1977) dan Church (19983), konsentrasi Seng
tertinggi
didapatkan pada jaringan lunak yaitu hati, pankreas, kelenjar
pituitari, ginjal, adrenal,
paru-paru, jantung dan otot kerangka. Pergantian Seng yang paling
cepat terjadi di hati,
sedangkan tulang, gigi, testikel, kelenjar asesoris seks dari
jantan dan cairan sekresi alat
pencernaan mempunyai kandungan Seng yang relatif tinggi. Underwood
(1977)
menambahkan bahwa Seng didapatkan pula dalam rambut atau bulu
(wool), iris dan
jaringan choroid mata.
Metabolisme Seng (Zn) dalam Tubuh Makhluk hidup
Seng mempunyai banyak fungsi dalam tubuh dan sangat penting bagi
semua jenis
hewan, karena terlibat dalam fungsi berbagai enzim yang ada
hubungannya dengan
metabolisme karbohidrat, energi, degradasi dan sintesis protein
dan asam nukleat (Tilman
et al (1983) dan Linder, (1992)).
Sebagai ion metal, Seng memiliki sifat transisi metal yang rumit
dan terutama
terikat pada ligand yang mengandung sulphur, nitrogen, dan sedikit
oksigen. Sejumlah
besar Seng berikatan pada protein dengan daya gabung yang besar
terhadap fungsi
khusus lipoprotein dan protein yang bergabung dengan biomembran
(Bettger dan O’Dell,
1981)
Seng di tubuh ternak sangat penting karena berperan dalam sistem
enzim, sebagai
komponen aktivator metaloenzim. Selain dari itu, mineral Seng juga
mempunyai fungsi
yang tidak berkaitan dengan aktivitas enzim. Menurut Piliang
(1997), fungsi-fungsi
mineral Seng diantaranya sebagai kofaktor enzim-enzim sebagai
berikut :
1. Enzim Carbonic anhydrase berperan penting dalam homeostatis
asam basa pada
organisme hidup.
2. Enzim Pancreatic carboxypeptidase A da B berfungsi dalam
mencerna peptidapeptida
menjadi asam-asam amino agar dapat diabsorpsi. Aktivitas ini cepat
hilang
akibat defisiensi mineral Seng.
3. Enzim Aldolase berfungsi memecah fruktosa-1, 6-difosfat menjadi
gliseral-dehida-3-
fosfat dalam silkus glikolisis. Tidak berperan sebagai kofaktor
pada semua spesies
hewan dan juga tidak berperan pada semua jaringan.
4. Enzim Dehydrogenase yang meliputi enzim-enzim : alkohol dehydrogenase,
malat
dehidrogenase, laktat dehidrogenase, lipoil (NADH) diaphrose,
glutamat
dehidrogenase, glyceraldehida-3-fosfat. Berperan pada proses
oksidasi dan reduksi
NAD dan NADH selalu merupakan kofaktor.
5. Enzim phosphatase, enzim-enzim alkaline phosphatase dari
beberapa macam sumber
dan tergolong pada enzim-enzim phosphomonoesterase yang juga
memerlukan
mineral magnesium dalam menjalankan fungsinya.
6. Enzim Asam ribonuclease dan enzim basa ribonuclease, suatu
enzim yang
aktivitasnya diatur oleh mineral Seng dan berperan penting pada
katabolisme
ribonucleic acid (RNA).
7. Enzim RNA polymerase berfungsi dalam polimerasi ribonukleotida
menjadi asam
ribonukleat (RNA).
8. Enzim DNA polymerase, berfungsi dalam polimerisasi
deoksiribonukleotida menjadi
deoxyribonucleic acid (DNA).
9. Enzim Thymidin kinase, berfungsi dalam fosforilasi
deoxythimidine sebelum
bergabung dengan DNA dan mengatur kecepatan limiting enzyme dalam
sintesis
DNA.
10. Enzim pyridoxyl phosphokinase, berperan dalam fosforilasi
pyridoxal menjadi bentuk
koenzim.
11. Enzim dipeptidase, berfungsi dalam memecah dipeptida menjadi
bentuk asam-asam
amino bebas.
12. Enzim phosphoglucomutase, berfungsi dalam mengubah
glukosa-1-fosfat menjadi
glukosa-6-fosfat.
13. Enzim phospholipase C, berperan pada ikatan ester antara
gliserol dan
fosforifilcholine.
14. Enzim leucine aminopeptidase, merupakan salah satu kelompok
enzim
aminopeptidase yang terdapat dalam sel-sel mukosa usus.
15. Enzim phosphomannose, berfungsi dalam isomerisasi
fruktosa-6-fosfat menjadi
manosa-6-fosfat.
16. Enzim pyruvat carboxylase, berfungsi dalam proses karboksilasi
asam piruvat
menjadi oksaloasetat. Enzim piruvat karboksilase juga memerlukan
vitamin biotin.
17. Enzim ornithin carbamyl transferase, berfungsi dalam proses
kondensasi karbamil
fosfat dengan omitin untuk membentuk citruline yang merupakan
bagian dari siklus
urea.
18. Enzim aspartate transcarbamylase, berfungsi untuk
mengkatalisis gabungan antara
karbamil fosfat dan asam aspartat untuk membentuk karbamilaspartat
dan CTP.
19. Enzim alpha amylase, berfungsi dalam memecah ikatan 1,4
amilase dan amilopektin
menjadi maltosa. Enzim ini terdapat Bacillus subtilis.
20. Enzim mercaptovyruvate sulfur transferase, berfungsi dalam
proses desulfurisasi
beta-mercaptopyruvate untuk membentuk asam piruvat dalam proses
katabolisme
sistein.
21. Enzim reverse transcriptase, suatu enzim DNA-polimerase yang
tergantung pada
RNA, berfungsi dalam mengkatalisis proses polimerisasi dari DNA
dengan
menggunakan RNA sebagai sumber informasi genetik (virus-virus RNA
dan berperan
dalam memperbaiki DNA).
22. Enzim Protease yang bersifat netral maupun basa, merupakan
enzim-enzim pemecah
protein dalam proses pencernaan.
23. Enzim delta amino-levulinic acid dehydratase, berfungsi dalam
proses kondensasi 2
molekul deta ALA membentuk porphobilinogen. Aktivitas ini dihambat
oleh Hg, Cd,
Ag, Al terutama oleh Pb (mineral tembaga). Enzim ini mengandung 5
- 6 atom
Seng/molekul. Enzim ini banyak mengandung grup SH. Mineral Seng
diperlukan
pada setiap sisi aktif.
24. Enzim Collagenase, berperan pada sintesis dan pembentukan
kembali jaringan
kolagen tulang.
Enzim-enzim lain yang aktivitasnya dipengaruhi oleh mineral Seng
adalah AMP
amynohydrolasepy, D-lactate cytochrome reductasedan thermolysin
(yang berasal dari
Bacillus thermoproteolyticus).
Metallothionein telah diisolasi dari ginjal, hati dan mukosa usus
halus.
Metallothionein sangat kaya akan asam amino sistein dan dapat
mengikat 9 gram atom
logam untuk setiap protein dengan berat molekul 9000. Protein ini
terikat secara erat
dengan mineral-mineral Seng, cadmium, tembaga, kuprum, dan
kemungkinan dengan
beberapa elemen lainnya. Beberapa peneliti membuktikan bahwa
sintesis thionein
dirangsang oleh adanya mineral Seng, cadmium atau tembaga dalam
mukosa lambung
tetapi tidak dirangsang oleh mineral kupruk. Hal ini menggambarkan
mekanisme pada
kondisi defisiensi mineral tembaga yang disebabkan karena
pencernaan mineral Seng
dalam jumlah besar secara kronis. Protein ini tidak mempunyai
kegiatan enzimatik,
namun demikian dapat menurunkan kadar ion-ion bebas yang terdapat
dalam sirkulasi.
Sekitar 1 - 2 % dari berat total metallothionein merupakan protein
yang dapat larut yang
berasal dari korteks ginjal.
Defisiensi Mineral Seng (Zn)
Berdasarkan laporan yang dikemukakan Little (1986) kandungan Seng
pada
pakan ternak ruminansia di Indonesia berkisar antara 20 dan 38
mg/kg bahan kering.
Defisiensi Seng dapat menyebabkan parakeratosisi jaringan usus
yang akibatnya sama
dengan defisiensi asam lemak, dan juga dapat mengganggu peran Seng
dalam
metaboilisme mikroorganisme rumen, mengingat kebutuhan Seng bagi
mikroorganisme
cukup tinggi yaitu antara 130 - 220 mg/kg (Hungate, 1966, Arora,
1989).
Menurut Piliang (1997), banyak faktor yang mempengaruhi
penyimpanan mineral
Seng dalam tubuh. Asam fitat, suatu komponen yang terdapat dalam
biji-bijian tanaman,
akar tanaman dan umbi-umbian mengikat mineral Seng secara kuat
dalam saluran
pencernaan makanan dan oleh karena itu menurunkan ketersediaan
mineral Seng untuk
diabsorpsi dan direabsorpsi. Sejumlah mineral Seng disekresi dalam
saliva, cairan
pankreas (yang sebagian berfungsi sebagai kofaktor enzim
procarboxypeptidase) dan
juga dalam empedu. Mineral Seng yang terdapat dalam sekresi
tersebut tidak dapat
diabsorpsi oleh karena mineral ini mudah membentuk kompleks dengan
asam fitat, sama
seperti halnya Seng yang disekresi dapat mencapai 3 sampai 4 kali
jumlah mineral Seng
yang berasal dari ransum dan yang terdapat dalam saluran
pencernaan.
Tanda-tanda klasik untuk defisiensi mineral Seng meliputi
pertumbuhan yang
terhambat, kekurusan, rambut yang kasar dengan pertumbuhan rambut
yang jarang,
rambut rontok, pada unggas tanda-tanda khas induk yang defisiensi
Zn anak-anaknya
tidak akan tumbuh bulu sayap, lymphocytopenia, testes yang
mengecil (testicular
atrophy), acanthosis, hyperkeratosis, parakeratosis pada kulit dan
esophagus, kemampuan
belajar menurun dan tingkah laku yang bersifat emosional.
Aktivitas enzim
karboksipeptidase dalam pankreas dapat menurun sampai 50 % atau
lebih pada minggu
pertama. Aktivitas beberapa enzim lain juga menurun, demikian pula
efisiensi
penggunaan protein dalam ransum dapat menurun. Kondisi defisiensi
mineral Seng yang
tidak begitu parah akan memperlihatkan tanda-tanda seperti
gangguan pada perut, nafsu
makan sedikit menurun, pertumbuhan sedikit terganggu, sukar
bunting dan sukar
melahirkan serta gangguan mental pada anak-anak keturunannnya
(Piliang, 1997).
Kelebihan Mineral Seng (Zn)
Mineral Seng termasuk kedalam trace mineral, artinya dibutuhkan
oleh tubuh
relatif sedikit. Keracunan mineral Seng dalam jumlah besar akan
menyebabkan mual,
muntah-muntah, diare dan gangguan pada perut. Sejumlah 2 gram
garam Seng sulfat
yang dilarutkan dalam air telah digunakan sebagai obat muntah.
Sebanyak satu persen
mineral Seng dalam ransum hewan dapat menekan pertumbuhan,
gangguan pada alat
reproduksi dan anemia. Keadaan anemia dapat dicegah dengan cara
meningkatkan
konsumsi mineral tembaga (Cu) dalam ransum (Piliang, 1997).
Mineral Seng pada Ruminansia
Absorpsi dan Metabolisme Seng pada Ruminansia
Absorpsi Seng yang utama terjadi pada bagian usus kecil. Pada
ruminansia
sepertiga pemberian Seng per oral diabsorpsi di abomasum, tetapi
daerah absorpsi yang
utama adalah usus kecil dan yang paling aktif pada duodenum
(Underwood, 1977).
Peneliti lain menyatakan bahwa ruminansia dapat mengabsorpsi 20 -
40 % Seng dari
yang terkandung dalam pakan, namun pada ternak muda absorpsinya
relatif lebih tinggi
(Georgievskii et al., 1982).
Absorpsi Seng dipengaruhi oleh jumlah dan imbangan mineral lain
serta
kandungan Seng dalam ransum dan bentuk Seng yang diserap (Underwood,
1977).
Tingginya level kalsium dapat menghambat absorpsi seng pada
monogastrik
(Georgievskii, et al., 1982).
Menurut Piliang (1997), asam fitat pada hewan ruminansia merupakan
masalah
khusus, karena bahan pakan yang kaya akan fitase mempunyai manfaat
bagi kehidupan
protozoa yang terdapat dalam ransum. Hewan-hewan ruminansia yang
dipelihara secara
merumput atau yang diberi ransum dengan hijauan tinggi, maka asam
fitat akan lebih
mudah dicerna dan kurang mempengaruhi ketersediaan mineral Seng
dibandingkan
dengan jika ransum tersebut dikonsumsi oleh hewan monogastrik.
Meskipun demikian,
anak sapi yang rumennya belum berfungsi dan berkembang sempurna
dan juga hewanhewan
ruminansia yang diberi ransum dengan kandungan konsentrat tinggi,
dimana
protozoa dalam rumennya telah banyak berkurang atau hilang, maka
respon terhadap
pemberian mineral Seng dalam ransum akan sama dengan hewan-hewan
monogastrik.
Absorpsi Seng lebih merupakan refleksi permintaan fisiologis tubuh
akan Seng
baik pada anak maupun induk sapi. Hewan yang kekurangan Seng akan
mengabsorpsi
sebagian besar Seng yang diberikan dalam pakan. Anak sapi yang
kekurangan Seng akan
mengabsorpsi 80 % Seng yang diberikan per oral (Miller et al., 1970). Selanjutnya
dinyatakan bahwa apabila ruminansia muda mendapat ransum dengan
kandungan Seng
rendah, maka kadar Seng dalam beberapa jaringan akan turun,
sedangkan di tempat lain
sedikit berubah atau tetap. Tetapi bila kekurangan Sengnya
demikian besar, maka akan
mengakibatkan turunnya kandungan Seng pada rambut, tulang, hati,
paru-paru, ginjal,
pankreas dan plasma darah.
Seng yang terdapat dalam tubuh hewan diangkut bersama-sama bahan
organik.
Dari penelusuran pustaka, Church dan Pond (1988) melaporkan bahwa
urutan absorpsi
yaitu setelah pankreas mengeluarkan ligan pengikat seng ke dalam
lumen usus, di dalam
lumen seng berikatan dengan ligan. Dalam ikatannya dengan ligan,
seng diangkut
menembus mikrovili usus masuk ke dalam sel epitel dan kemudian
ikatan seng dibawa ke
membran plasma membawa seng dari sisi seseptor. Miller et al., (1970) dalam
penelitiannya tentang pengaruh berbagai taraf seng terhadap
absorpsi Zn menyatakan
bahwa ruminansia mempunyai mekanisme kontrol homeostatis yang
mengatur absorpsi
seng dan reekskresi endogen ke dalam saluran pencernannya.
Pada peristiwa absorpsi dan transfer, seng akan lewat dari satu
ikatan protein ke
protein lainnya dan mungkin juga dalam satu ikatan metal kompleks
dengan asam amino
atau EDTA sebagai ikatan non protein. Metabolisme setelah absorpsi
dipengaruhi oleh
ikatan yang terbentuk. Selain itu juga dipengaruhi oleh
interaksinya dengan mineral Ca,
P, Cu, Cd pembentuk Khelat (EDTA) dan vitamin D (Georgievskii et al, 1982).
Konsumsi Ca dan P anorganik yang tinggi akan mempermudah timbulnya
kekurangan
seng dan mempengaruhi pemanfaatan seng pada ternak (Underwood,
1977).
Hasil suatu penelitian Batubara (1988), mencoba menambahkan Zn
pada ransum
domba dengan level 0, 200 dan 400 ppm. Didapatkan bahwa hanya
tingkat pemberian
200 ppm terjadi peningkatan konsumsi ransum. Ott et al., (1965) menambahkan Seng
sebesar 15, 30, dan 45 ppm dari ransum basal yang mengandung 3 ppm
Zn, dan
mendapatkan peningkatan konsumsi pakan domba secara linier.
Selanjutnya domba yang
diberi penambahan sebanyak 500 ppm dan 1000 ppm Seng akan
mengkonsumsi pakan
lebih banyak dibandingkan kontrol yang mengandung 33 ppm Zn.
Penurunan konsumsi
pakan dengan pemberian Seng yang lebih tinggi akan mempengaruhi
palatabilitas dan
terjadi perubahan metabolisme rumen (Ott et al, 1996a).
Pengaruh Defisiensi dan Kelebihan Seng pada Ruminansia
Defisiensi seng pada ruminansia tidak akan terjadi apabila
kandungan seng dalam
hijauan alami cukup tersedia. Dari berbagai penelitian telah
dilaporkan bahwa seng
berperan sebagai aktivator berbagai enzim dan merupakan komponen
esensial berbagai
metaloenzim. Oleh karena itu bila ternak mengalami defisiensi
seng, aktivitas enzim
yang terlibat seperti alkalin fosfatase, karboksi peptidase dan
lain-lain akan turun dan
selanjutnya akan mempengaruhi performans ternak.
Defisiensi seng dapat menyebabkan penurunan alkalin fosfatase pada
ginjal,
perut, usus dan hati tikus (Wiliam, 1972; Huber dan Gershoff, 1973;
Taneja dan Arya,
1992), dan pada serum sapi (Miller et al., 1966; Luecke et al., 1968). Berdasarkan
penelitian Girinda (1987) dilaporkan bahwa aktivitas alkalin
fosfatase pada serum domba
dan sapi yang normal mempunyai kisaran yang luas (tabel 4) dan
akan turun dengan
cepat dengan semakin bertambahnya umur sampai mencapai dewasa
tubuh.
Aktivitas karboksi peptidase pada pankreas menjadi lebih rendah
pada tikus yang
defisiensi Seng dan akan kembali normal apabila disuplementasi
dengan seng dalam
jumlah yang cukup sesuai kebutuhan. Hubert dan Gershoff (1973)
menyatakan bahwa
penurunan aktivitas karboksi peptidase menyebabkan pencernaan dan
penyerapan protein
terbatas. Pernyataan tersebut mendukung pendapat Miller et al. (1966) yang mengatakan
bahwa gejala defisiensi seng pada ruminansia telah terbukti tidak
mempengaruhi
kecernaan bahan kering, akan tetapi justru menyebabkan penurunan
pemanfaatan pakan
tercerna.
Dari berbagai penelitian pada ternak lainnya juga dilaporkan bahwa
defisiensi
mengakibatkan penurunan aktivitas berbagai enzim dan keadaan
tersebut dapat
menimbulkan berbagai gejala kilinis maupun fisiologis pada ternak.
Gejala klinis yang
tampak adalah alopesia, dermatitis, parakeratosis dan rambut atau
bulu, wol, kaki dan
kulit tidak normal (NAS, 1980). Selain hal tersebut di atas,
defisiensi seng dapat terlihat
pada pertumbuhan lambat, selera makan tertekan, konsumsi turun dan
kesehatan
menurun. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang dilaporkan
oleh Miller et al.
(1966) bahwa defisiensi seng pada ruminansia tidak berpengaruh
pada kecernaan bahan
kering, tetapi laju pertumbuhan lebih lambat dibanding kontrol.
Hal ini kemungkinan
disebabkan pemanfaatan pakan tercerna pada ransum yang defisiensi
seng kurang efisien.
Benade et al. (1995) dalam penelusuran pustakanya menyatakan bahwa defisiensi
seng
dapat menimbulkan defisiensi nutrisi esensial lain seperti vitamin
dan asam lemak yang
besar peranannya dalam proses penyerapan zat-zat nutrisi pakan.
Selain itu defisiensi
seng juga menunjukkan dewasa kelamin lambat dan mengganggu
reproduksi, gangguan
saluran usus halus dan anemia (NAS, 1980).
Disamping defisiensi yang berakibat buruk pada ternak, pemberian
seng
berlebihanpun akan mengakibatkan keadaan yang kurang baik. Apabila
diberikan dalam
jumlah yang berlebihan, kandungan seng pada pankreas, hati, ginjal
dan tulang tinggi.
Menurut Ott et al. (1966a;b) pemberian seng berlebihan pada domba maupun pada sapi
dapat menyebabkan keracunan yang diperlihatkan pada penurunan
berat badan, konsumsi
dan efisiensi penggunaan ransum. Penurunan konsumsi ransum
kemungkinan sebagai
bagian dari penurunan palatabilitas ransum. Selain itu pemberian
seng yang berlebihan
dapat mengganggu metabolisme dalam rumen, terjadi akumulasi dalam
darah dan
jaringan lain (hati, pamkreas, ginjal dan tulang), sehingga
mengganggu metabolisme Co
dan Fe yang mengakibatkan kandungan Co hati menurun dan Fe
meningkat (Ott et al.,
1966c)
Ott et al. (1966b) melaporkan bahwa pemberian ZnO 900 mg/kg ransum pada
sapi sudah menunjukkan gejala keracunan yang diperlihatkan pada
penurunan berat
badan, konsumsi ransum dan efisiensi penggunaan ransum, kandungan
seng jaringan
meningkat dan Cu di hati turun. Pada level yang lebih tinggi
tanda-tanda keracunan
semakin nyata. Pada pemberian 500 mg ZnO/kg ransum hanya meningkatkan
kandungan
seng jaringan, tetapi tidak terjadi penurunan berat badan,
sedangkan pemberian 100 mg
ZnO/kg ransum, baik secara biokimia maupun secara klinis baik.
Peneliti lain
melaporkan bahwa anak sapi umur 120 hari dengan berat badan
mendekati 100 kg yang
diberi 600 ppm ZnO dalam pakan, dalam waktu 14 hari dapat
mengkonsumsi ransum
secara optimal tanpa efek keracunan (Kincaid et al., 1976). Kemungkinan hal ini
disebabkan kandungan kalsium dalam ransum tinggi yang dapat
diketahui dari jenis
bahan pakan yang diberikan. Pendapat di atas membenarkan pendapat
Miller et al.
(1970). Akan tetapi mekanisme homeostatik kontrol metabolisme seng
kurang efektif
dan menyebabkan efek fisiologis yang sangat merugikan apabila
ransum mengandung
600 ppm ZnO dibandingkan dengan yang mengandung 200 ppm ZnO di
mana belum
sampai pada taraf keracunan.
Berdasarkan berbagai penemuan para peneliti tersebut nampaknya
belum ada
kesepakatan berapa batas optimal pemberian seng yang memberikan
efek terbaik pada
sapi. Namun dapat diperkirakan kandungan seng dalam ransum
sebaiknya tidak lebih
dari 100 ppm dengan asumsi kandungan kalsium dan fosfor dalam
ransum cukup sesuai
standar kebutuhan.
Kesimpulan
Mineral Seng termasuk kedalam trace mineral yang esensial. Mineral
ini tersebar
di seluruh jaringan tubuh. Konsentrasi Seng dalam organ tidak
konstan, namun
bervariasi tergantung umur, jenis kelamin dan level mineral dalam
ransum. Fungsi utama
mineral Zn adalah sebagai aktivator beberapa enzim yang ada
hubungannya dengan
metabolisme karbohidrat, energi, degradasi dan sintesis protein
dan asam nukleat dan
terlibat dalam enzim yang berfungsi untuk transport CO2 (Karbonik anhidrase) dan
karboksi peptidase yang ada hubungannya dengan sekresi protease
maupun peptidase
pada pankreas yang dibutuhkan untuk pencernaan protein dalam usus. Absorpsi mineral
Zn dipengaruhi mineral lain yang sipatnya sinergis dan antagonis.
Defisiensi Zn
menyebabkan penurunan aktivitas alkalin fosfatse, penurunan
aktivitas karboksi
peptidase, penurunan pemanfaatan pakan tercerna, laju pertumbuhan
terhambat,
konsumsi pakan menurun, dewasa kelamin terhambat dan kesehatan
menurun. Defisiensi
mineral Zn juga menimbulkan defisiensi nutrisi esensial lain
seperti vitamin dan asam
lemak. Pemberian mineral Zn yang berlebihan mengakibatkan
keracunan yang
diperlihatkan pada penurunan berat badan, konsumsi dan efisiensi
penggunaan ransum.
Kebutuhan mineral Seng untuk ruminansia para ahli belum sepakat,
tetapi sebaiknya
tidak lebih dari 100 ppm/kg ransum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar